Laman

Kamis, 25 November 2010


M A D U

                    
                     “Bapak, mohon pengertian ibu. Demi perjuangan, Bapak harus menikah lagi. Di Malaysia sini banyak rekan – rekan seperjuangan dan anak– anak binaan yang membutuhkan uluran tangan agar dapat bertahan hidup dan terus berjuang  Che Azizah, calon istri bapak ini memiliki semangat jihad yang tinggi. Dia banyak membantu kami disini …. “
                     Aku tidak sanggup melanjutkan bacaanku. Tanganku gemetar. Isi surat suamiku itu terasa meluluh  lantakkan persendianku. Aku tak kuasa berdiri. Hatiku terasa perih. Dalam dudukku, aku menangis. Aku betul-betul terluka. Betapa tidak, hampir tiga puluh tahun aku mendampinginya dalam suka dan duka. Tuhanpun telah mengaruniai kami sepuluh anak. Alhamdulillah, walaupun kami berdua hanya guru, kami mampu membesarkan dan mendidik mereka. Mereka tumbuh menjadi anak-anak yang baik. Tapi kini setelah kami sama-sama tua, dia akan mencampakkan diriku.
                     Kuremas surat itu sekuat tenaga sampai lumat. Dan kulempar kekotak sampah di pojok kamar. Perasaanku betul–betul terkoyak. Begitukah sifat laki-laki? Dia akan mencampakkan wanita setelah dianggap tidak berguna lagi. Aku sudah tua keriput. Dan dia ingin mendapatkan yang lebih muda. Astagfirullah! Sepanjang malam aku susah tidur. Aku banyak merenung. Mengingat kembali peristiwa–peristiwa hidupku hingga kami.
*****                                       
                     Sore itu aku dan Faisal putera bungsuku yang berumur tiga tahun sedang asyik nonton televisi. Anak–anakku yang lain sedang berada d ruang tengah mengerjakan tugas sekolah. Sekitar jam lima sore, kami kedatangan dua orang tamu. Keduanya bertubuh tegap dan kekar.
                     “Permisi, bu. Apa betul ini rumah Ustad Hasan ?“ tanya salah satu dari mereka.
                     “Betul. Silahkan masuk,“ jawabku lalu mempersilahkan mereka duduk di ruang tamu. Keduanya lalu masuk.
                     “Ada perlu apa dengan suami saya ? “ tanyaku setelah mereka duduk.
                     “Bapak Hasannya ada di rumah ? “ pria yang satunya tadi malah bertanya. Nampaknya dialah yang bertugas sebagai juru bicara, karena teman yang satunya lagi hanya diam.
                     “Bapak sedang keluar sebentar. Mungkin menjelang maghrib nanti pulang. Bapak–bapak boleh menunggu. Tapi kalau memang sedang terburu–buru dan sangat penting sekali, boleh tinggalkan pesan nanti akan saya sampaikan.“ Kujelaskan semua itu secara wajar. Mereka saling pandang. Nampaknya mereka masih kurang percaya. Aku jadi curiga.
                     Sambil menatap tajam padaku, orang itu menjelaskan: “Kami petugas dari Kodim, diperintahkan menjemput suami ibu. Dia telah menghasut Umat Islam untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Dia anti Pancasila dan ingin mendirikan Negara Islam.”
                     Aku tersentak. Apa yang aku khawatirkan selama ini terjadi juga. Salah seorang rekan suamiku yang bekerja sebagai staf di sebuah instansi militer mengatakan akan ada penangkapan besar-besaran terhadap aktivis Islam. Dan suamiku termasuk dalam daftar yang akan diciduk. Dia malah menyarankan agar suamiku menyingkir selama beberapa waktu sampai keadaan memungkinkan. Tapi suamiku tak menghiraukannya. Dia akan bertahan walau apapun yang akan terjadi.
                     “Maaf Bu, kami akan disini sampai suami ibu kembali. Saya minta ibu dapat memberikan kerjasama, “  petugas itu menandaskan.
                     Keduanya lalu bangkit. Yang satu langsung melakukan penggeladahan. Yang lainnya kembali ke dalam mobil. Tak lama kemudian dia keluar lagi di sertai lima petugas berseragam loreng dan besenjata lengkap. Aku terperangah.
                     Para tetanggaku mulai terusik. Sebagian dari mereka keluar rumah ingin mengetahui apa yang terjadi. Ada yang memandang prihatin dan simpatik pada kami. Tapi ada juga yang nampak sinis. Tapi aku tak memperdulikan itu, yang aku pedulikan saat itu hanyalah keselamatan suamiku. Bagaimanapun dia tidak boleh tertangkap. Aku banyak dengar betapa kejamnya petugas keamanan memperlakukan para da’i yang ditahan atas tuduhan subversif atau anti Pancasila seperti suamiku ini.
                     Adzan maghrib menggema. Aku semakin panik, karena sebentar lagi suamiku pulang. Karena itulah kebiasaanya. Ia selalu sholat maghrib berjamaah di rumah dengan kami, istri dan anak–anaknya, aku pasrah. Tapi aku tidak kehabisan akal. Dengan alasan untuk sholat maghrib berjamaah di mesjid, aku minta agar petugas mengijinkan anak–anakku keluar rumah. Mereka pun mengijinkan. Diluar sepengetahuan mereka aku malah menugaskan dua puteraku yang masih duduk di SMP, yaitu Rizal dan Fadhil untuk mencegat kepulangan ayah mereka. Mereka kuminta untuk menjaga di dua pintu masuk ke kawasan itu yang biasa dilaluinya kalau pulang ke rumah.
                     Satu jam kemudian Rizal dan Fadhi kembali, sambil berbisik mereka melaporkan bahwa mereka telah berhasil mencegat ayah mereka agar memutar arah kendaraannya ke daerah aman dan menyingkir untuk sementara waktu. Alhamdulillah, itu berarti untuk sementara waktu suamiku selamat dati sergapan petugas. Kemudian karena tidak berhasil menangkap suamiku, menjelang tengah malam mereka meninggalkan rumah kami. Taapi walaupun begitu aku yakin mereka masih berkeliaran disekitar rumah kami. Dan sejak hari itu mereka selalu mencegat dan mengintograsi setiap orang yang baru keluar dari rumah kami. Akibatnya keluarga kami menjadi terisolasi karena tidak ada orang yang berani berkunjung.
                     Karena aparat petugas masih memburu, akhirnya suamiku memutuskan untuk hijrah ke negeri jiran Malaysia melalui jalur laut, yaitu Pelabuhan Dumai di Riau. Dengan berbekal biaya hasil menjual kuda perangnya yaitu mobil sedan tua milik kami satu-satunya yang selalu meyertainya berdakwah, ia hijrah.
                     Nampaknya suamiku dianggap orang yang cukup berbahaya oleh pemerintah ketika itu. Buktinya aparat berusaha gigih menangkapnya dengan segala cara. Mereka berusaha mencari informasi tentang keberadaan suamiku dengan cara apapun. Mereka menekan kelurahan agar membantu mereka. Akibatnya kami sekeluarga mengalami kesulitan jika berhubungan dengan mereka untuk mengurus masalah keluarga yang terkait dengan instansi tersebut. Sehingga tak jarang aparat kelurahan bertindak diskriminatif pada kami. Bahkan menurut tukang pos yang kami kenal dan biasa mengantarkan surat untuk kami, pihak keamanan juga melakukan sensor atas surat-surat yang ditujukan ke alamat kami. Tapi untunglah sejak hijrah ke Malaysia, Suamiku tidak pernah berkirim surat via pos. Surat untuk kami biasanya dititipkan melalui beberapa kawannya yang biasa bepergian ke Malaysia atau dititipkan melalui beberapa mahasiswa Indonesia yang kuliah disana yang kebetulan mengenal kami.
                     Yang paling terpukul ketia itu adalah puteri sulungku Annisa, dia mengalami kesulitan ketika mengurus pernikahannya di kantor urusan agama karena persoalan wali. Ini dimanfaatkan oleh petugas keamanan melalui pegawai kantor urusan agama itu agar Annisa mendatangkan ayahnya sebagai wali.
                     Betapa berat ujian yang harus kami hadapi. Tapi kami tetap istiqomah. Bagiku ini adalah resiko bagi seorang istri pejuang Islam. Oleh karena itu aku betul–betul terpukul ketika membaca surat suamiku. Kenapa harus menikah lagi? Apakah tanpa menikah lagi mereka mati kelaparan? Lalu dia anggap apa aku ini? Apa arti pengorbanan kami selama ini?
******
                     Mei 1998.
                     Indonesia rusuh. Agin reformasi bertiup kencang meruntuhkan pemerintahan orde baru yang tiran. Negeri ini memasuki era baru. Era reformasi. Puluhan bahkan ratusan aktifis Islam selama ini lari ke luar negeri  kini berbondong–bondong pulang kampung. Mereka kembali menyemarakan dakwah Islam yang telah lama dimandulkan oleh rejim tiran orde baru.
                     Dan untuk pertama kalinya aku menerima surat via pos dari suamiku. “Bu…. Tidak lama lagi Bapak akan pulang. Che Azizah akan ikut juga. Dia ada urusan bisnis di Jakarta,“  tulisnya.
                     Baru kali aku merasa terusik membaca suratnya. Sejak dia memutuskan untuk menikah lagi, aku tidak pernah memperdulikan surat-suratnya. Mungkin karena dia mengajak serta Che Azizah, istri mudanya, maduku, sainganku,….Masa bodoh, pikirku. Untuk apa aku peduli.
                     Terdengar suara riuh di ruang tamu.
                     “Bu …. !  Bapak pulang! “ Kudengar suara anak-anakku. Terdengar mereka lari menghambur keruang tamu. Jantungku berdetak keras. Kuraih anak kunci. Tapi kemudian kuurungkan niatku untuk membuka pintu kamar karena kudengar suara wanita lain yang tak kukenal disela-sela riuhnya teriakan anak-anakku.
                     Suara itu sangat asing ditelingaku. Logat bicaranya aneh. Melayu kental. Logat itu selama ini hanya kudengar dalam film Melayu Jiran. Tidak salah. Itu pasti wanita yang disebut oleh suamiku dalam suratnya. Batinku bimbang. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya bisa duduk di tempat tidur.
                     Terdengar langkah berat menuju pintu ke kamarku, lalu diikuti suara ketukan beberapa kali.
                     “Bu…, buka pintunya,“ terdengar suara berat tapi lembut. Itu suara suamiku. Suara yang selalu kupatuhi selama tiga puluh tahun. Tapi kali aku tidak bergeming. Menyahutpun tidak. Walaupun sebenarnya aku telah merindukannya.
                     Kemudian terdengar desah napas berat. Desah kekecewaan orang lama menunggu. Aku tahu, sikapku ini tentu mengecewakannya. Tapi aku juga ingin menunjukkan bahwa kau juga sangat kecewa dengan keputusannya.
                     Tidak lama kemudian terdengar langkah lain mendekati pintu. “Bu…. Bapak pulang, Bu, Tolong buka pintunya. Ibu bilang kangen sama Bapak.“
                     Ya Tuhan, Itu suara Faizal. Aku semakin gugup. Apa jadinya anak-anakku, terutama Faizl kalau mengetahui dan melihat semua ini. Setelah menenangkan diri sejenak, perlahan kubuka pintu kamar. Aku tertegun mematung tanpa ekspresi. Dihadapanku telah berdiri tiga orang. Suamiku, Faizal, dan seorang wanita tua yang tidak kukenal.
                     “Bu……, ini Che Azizah. “kata suamiku dengan suara parau memecah kekakuan.
                     Mataku tertegun pada wanita tua itu. Dari raut wajahnya dapat kuduga usianya lebih tua dariku. Aku terperangah. Ia tersenyum. Subhanallah, Wajahnya begitu agung dimataku. Walaupun agak mengeriput termakan usia, tapi masih nampak kecantikannya.
                     Tak terasa aku telah memeluknya. Aku menangis. Perasaan malu dan menyesal berbaur jadi satu.    

TAMAT



Tidak ada komentar:

Posting Komentar