Laman

Selasa, 23 November 2010


SEBUAH FRAGMEN
           
            “Awas kalian yah! Kalau ketahuan mencuri lagi, kupotong  tangan kalian,” teriak Pak Bakhil sambil mengacungkan goloknya kearah anak-anak yang lari bertempiaran. Nampak mereka ketakutan melihat kemarahan Pak Bakhil.
            “Ada apa Pak?” Tanya Pak Ustadz Hasan. Beliau tiba-tiba saja sudah berada di belakang Pak Bakhil.
            “Itu lho Pak Ustadz, anak-anak  itu hampir tiap hari mencuri singkong saya. Keterlaluan,” jawab Pak Bakhil.
            “Yah namanya juga anak-anak pak. Maklumi saja.”
            “Justru itu Pak Ustadz, kalau masih kecil saja sudah berani mencuri, apalagi kalau sudah besar, bisa jadi perampok mereka,” bantah Pak Bakhil sengit.
            “Tapi jangan terlalu kasar seperti itu Pak Bakhil. Apalagi sampai mengacungkan golok segala. Kita nasihati saja secara baik-baik. Nanti kalau terjadi sesuatu pada mereka gimana? Kan kita juga yang repot.”
            “Biarkan saja. Biar mereka tahu rasa,” sahut Pak Bakhil dengan nada tinggi.
            Pak Ustadz nampak mengerutkan dahinya.
            “Nggak baik begitu Pak,” ujar Pak Ustadz kemudian. “Barangkali mereka memang betul-betul lapar. Dikampung kita ini ‘kan memang banyak keluarga miskin. Apalagi jaman susah seperti sekarang ini. Harga barang melambung tinggi. Sementara orang tua mereka menganggur. Jadi mereka memang benar-benar kurang makan di rumah.”
            “Alaahh…Sudahlah Pak Ustadz. Tidak usah menceramahi saya. Ceramahi saja mereka supaya tidak mencuri lagi. Jangan-jangan mereka memang disuruh mencuri oleh orang tuanya.”
            “Astaghfirullah,” ucap Pak Ustadz terperanjat.
            Tanpa mempedulikan Pak Ustadz, Pak Bakhil langsung menyarungkan kembali goloknya dan beranjak meninggalkan tempat itu. Sementara Pak Ustadz hanya bisa menggelengkan kepalanya.
            “Ya Allah, bukakanlah pintu hati Pak Bakhil, supaya dia menjadi orang yang peduli terhadap orang lain.”
            Pak Bakhil adalah orang berada di kampung. Tapi sayang dia termasuk orang yang paling kikir. Kebun dan sawahnya luas. Ada yang diolahnya sendiri. ada juga yang diolah oleh orang lain. Petani yang mengolah lahan milik Pak Bakhil sering mengeluh karena mereka sering diperlakukan tidak adil. Pak Bakhil sering sewenang-wenang dalam menentukan pembagian hasil panen lahan garapan mereka.
*****
            Siang yang terik. Nampak Pak Karna duduk termenung di kursi bambu reot didepan gubuknya. Pikirannya menerawang jauh, membayangkan kehidupannya yang semakin suram. Betapa tidak, sudah tiga hari keluarganya tidak makan nasi. Mereka hanya makan singkong rebus. Itupun pemberian tetangganya. Dia yang sehari-hari bekerja sebagai kuli angkut batu di galian di kampungnya itu betul-betul bingung. Sudah seminggu lebih dia pulang kerja dengan tangan hampa karena tidak ada truk yang masuk galian. Sejak krisis, memang jarang sekali ada truk yang masuk untuk mengangkut batu.
            Tiba-tiba muncul Udin, anaknya yang nomor dua.
            “Lapar, pak….,’ rengek Udin sambil bergelayut dikaki bapaknya.
            Pak Karna tidak langsung menyahut. Dia menarik napas berat. Diangkatnya tubuh Udin yang kurus itu dan didudukkan di pangkuannya. Anak berusia sembilan tahun itu nampak diam saja.
            “Sabar yah Din. Nanti setelah sholat Dzuhur bapak akan kembali ke galian lagi. Mudah-mudahan sore ini ada truk yang masuk. Pulangnya bapak beli beras,” bujuk Pak Karna dengan suara parau. Dia nampak tak tega melihat anaknya yang sudah kelaparan itu.
            “Tapi Udin nggak tahan nih nih Pak. Dari pagi belum makan apa-apa,” kata Udin sambil mengelus perutnya yang kempes itu.
            Lalu muncul istri Pak Karna dari dalam gubuk. Nampak Mamat, kakanya  Udin mengikuti ibunya dari belakang. Keduanya lalu duduk di balai bambu dihadapan Pak Karna. Sesaat Bu Karna  menatap Udin.
            “Din, kamu main dulu yah sama Bang Mamat. Biar bapak istirakat dulu,” ujar Bu Karna.
            Udin nampak terdiam. Pak Karna juga membisu.
            “Mat, ajak adikmu main yah,” kata Bu Karna kemudian kepada kakaknya Udin yang berusia sebelas tahun itu.
Mamat nampak mengangguk. Dia langsung mendekati Udin dan menuntunnya menjauhi rumah. Udin nampak menurut saja. Diikutinya langkah mamat sambil tetap membisu. Sampailah keduanya dibawah pohon mangga yang rindang. Pohon mangga itu terletak tidak jauh dari rumah Pak Bakhil.
“Kita main petak umpet yuk?” ajak Mamat pada adiknya.
Udin mengangguk kurang semangat.
“Kita suitan dulu. Yang kalah jaga,” ujar Mamat.
Udin mengangguk. Mereka suitan. Mamat kalah.
“Bang Mamat kalah. Sekarang kamu yang ngumpet. Bang Mamat yang jaga,” ujar Mamat menyemangati Udin.
Mamat lalu membalikkan badanya menghadap batang pohon mangga dan menutup matanya dengan telapak tangan. Iapun  mulai menghitung.
“Satu, dua, tiga…..sepuluh.”
Mamatpun mulai mencari tempat persembunyian Udin. Dijelajahinya semak-semak disekitar tempat itu. Tapi Udin tidak ditemukan. mamat mulai was-was.
“Din…Udin….!
Tidak terdengar jawaban.
“Din…Udin! Keluar Din. Bang Mamat nyerah dah…,” pujuk Mamat.
Tapi tetap tidak terdengar sahutan. Mamat semakin was-was. Dia kemudian berlari-lari kecil mengitari rumah Pak Bakhil yang sepi itu. Tapi Udin tetap tidak nampak. Ketika dia melewati pintu samping rumah Pak Bakhgil, Mamat agak curiga melihat pintu samping rumah Pak Bakhil agak sedikit terbuka. Padahal dia sendiri tahu kalau rumah itu sedang kosong. Seluruh penghuninya sedang keluar rumah. Pak Bakhil sendiri biasanya masih di kebun memeriksa tanaman-tanamannya.
“Udin….Din…!”
Tidak ada jawaban. Mamat celingukan sesaat. Sepi. Tiba-tiba terdengar suara piring beradu dari dalam rumah. Dia curiga.
“Udin!”
Masih tidak ada jawaban. Akhirnya Dengan agak ragu, Mamat mendekati pintu yang sedikit terbuka. Pelan-pelan dia membuka pintu itu agak lebar. Setelah pintu terbukal, sontak Mamat terkejut. Nampak Udin berada didalam rumahl itu. Dia sedang berdiri menghadap meja makan. Dengan tergesa-gesa nampak Udin menyendok nasi dan menaruhnya di bungkusan terbuat dari daun pisang. Kemudian diambilnya juga sedikit lauk pauk. Mamat nampak terkesiap.
“Jangan Din,” cegah mamat.
Tapi Udin tidak mengindahkan kata-kata Mamat. Dia lalu mengambil bungkusan nasi dan lauk-pauk itu dan mulai menyantapnya dengan lahap. Tangannya nampak gemetar. Mungkin dia sudah merasa sangat lapar.
“Udin! Ayo pulang!” bentak Mamat.
Mamat langsung mendekati Udin dan menarik tangan Udin agar menjauhi meja makan. Udin nampak masih tetap melahap nasi yang ada di bungkusan daun pisang itu. Mamat menyeret Udin menuju pintu keluar. Tapi alangkah terkejutnmya mereka, karena Pak Bakhil sudah berdiri bertolak pingggang menghadang langkah mereka di pintu. Wajahnya nampak angker. Apalagi nampak pula sebilah golok dengan sarungnya terselip di pinggangnya. Semakin menambah kegarangannya.
“Oohh…ini rupanya kucing yang sering mencuri makanan di rumah ini. Pantas saja makanan di rumah ini sering hilang. Rupanya kalian malingnya,” ujar Pak Bakhil menahan amarah.
Mamat dan Udin nampak tidak terkutik. Udin spontan berhenti mengunyah. Mulutnya sendiri masih dipenuhi nasi yang baru saja disuapnnya. Dengan kasarnya Pak Bakhil merampas bungkusan nasi dari tangan Udin dan melemparkannya ke halaman samping. Beberapa ekor ayam lalu mengerubungi nasi  yang berantakan itu dan mematuknya dengan riuh. Sementara Udin hanya menatap dengan mata memelas
Kemudian…plak…plak…plak, beberapa tempelengan menghantam wajah Mamat dan Udin secara bergantian. Keduanya lalu menjerit kesakitan.
“Ampun, pak…ampun…,” kata Udin memelas sambil memegang pipinya yang memerah karena tempelengan pak Bakhil.
“Iya pak..ampun…. sakit pak…,” kata Mamat sambil meringis menahan sakit.
Tapi nampak Pak Bakhil tidak mempedulikan rintihan kedua anak itu. Beberapa pukulan masih dihantamkan ke wajah dan kepala kedua bocah malang itu. Pak Bakhil lalu mencengkeram telinga Udin dengan tangan kanannya dan telinga Mamat dengan tangan kirinya dan menyeret kedua anak itu ke halaman samping. Keduanya nampak menangis menahan sakit.
“Ampun Pak…. Sakit…..,” Udin menghiba.
“Kurang ajar kalian yah. Masih kecil sudah belajar jadi maling.” maki Pak Bakhil sambil terus menyeret mereka ke belakang rumah. “Aku akan membawa kalian ke kantor kepala desa.”
Tanpa diduga Udin menyambar lengan  Pak Bakhil dan menggigitnya dengan sekuat tenaga.
“Auw!” jerit Pak Bakhil. Cengkeramannya terlepas. Nampak darah menetes di lengannya. Nampaknya luka gigitannya cukup dalam.  Mamat dan Udin tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Keduanya lalu berlari menjauhi rumah Pak Bakhil. Pak Bakhil terus memburu mereka sambil mengacungkan goloknya.
“Awas kalin yah. Kalau tertangkap kupotong tangan kalian.” teriaknya sambil terus berlari mengejar kedua bocah itu.
Karena Pak Bakhil masih terus mengejar, akhirnya Mamat dan Udin masuk semak belukar. Keduanya tidak menghiraukan duri dan ranting menggores kulit mereka. Sementara Pak Bakhil masih terus memburu sam bil menebaskan goloknya ke ranting dan semak yang menghalangi langkahnya. Mamat dan Udin semakin panik.
“Tunggu…. Bang Mamat!” teriak Udin yang mulai kelelahan. Dia nampak tertinggal di belakang.
“Cepetan Din!” teriak Mamat.
Keduanya nampak semakin panik karena Pak Bakhil hampir dapat mengejar mereka. Dia hanya beberapa langkah di belakang Udin. Tak henti-hentinya dia menebas-nebaskan goloknya kearah semak-semak yang menghalanginya sambil terus mengeluarkan kata-kata ancaman kepada kedua anak itu.
“Auw!” tiba-tiba terdengar jeritan Udin.
Udin jatuh tertelungkup. Mamat langsung menghentikan larinya dan menoleh ke belakang.
“Cepat bangun Din!” teriak Mamat.
Udin tidak mampu menjawab. Dia hanya mengerang. Mamat berbalik dan mendekati Udin yang mengaduh kesakitan sambil memegang perutnya.
“Kena kalian sekarang yah. Mau lari kemana kalian?” kata Pak Blkhil senang.
Mamat nampak khawatir melihat kondisi Udin. Tanpa menghiraukan kehadiran Pak Bakhil, Mamat lalu membalikkan tubuh Udin. Kini Udin terlentang.
“Udin!” jerit Mamat.
Dia sangat terkejut melihat dada Udin yang berlumuran darah. Sebatang ranting nampak menancap  tepat di dadanya. Pak  Bakhil juga  terkejut melihat pemandangan yang mengerikan itu. Dia nampak kebingungan.
*****
Kampung geger. Nyawa Udin tidak tertolong. Dia meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Penduduk melampiaskan kemarahannya pada Pak Bakhil. Mereka beramai-ramai mendatangi rumah Pak Bakhil. Mereka mengobrak abrik rumah Pak Bakhil. Bahkan beberapa orang yang tidak bertanggung jawab menjarah isi rumah itu. Keluarga Pak Bakhil sudah diungsikan ke balai desa. Sementara Pak Bakhil sendiri sudah diamankan pihak kepolisian. Aparat desa dan juga kepolisian tidak mampu membendung kemarahan penduduk yang memang sudah sangat membenci Pak Bakhil karena kekikirannya.
Tidak hanya sampai disitu. Penduduk yang sudah dilanda kemarahan itu kemudian menghancurkan sawah dan kebuh milik Pak Bakhil. Mereka juga kemudian menjarah semua tanaman yang sudah siap panen. Habis sudah hasil kebun dan sawah Pak Bakhil. Tidak ada yang tersisa.
*****
            “Sekarang saya sadar Pak Ustadz,” kata Pak Bakhil ketika Pak Ustadz Hasan menjenguknya di ruang tahanan polisi.
            “Syukur alhamdulillah. Allah telah membuka pintu hati Bapak,” kata Ustadz Hasan.
            Pak Bakhil memang berubah. Sebagai bukti rasa tanggung jawabnya atas kematian Udin, Pak Bakhil memberikan sebidang tanah yang cukup luas kepada Pak Karna agar Pak Karna  dapat mengolah lahan itu sehingga dia dapat memenuhi kebutuhannya.
            “Setelah keluar dari penjara nanti, saya akan menunaikan ibadah haji,” ujar Pah Bakhil kemudian.
            Ustadz Hasan tersenyum lega.
Serpong, 15 September 1998

TAMAT
Cerpen ini ditulis berdasarkan kisah nyata yang menimpa sebuah keluarga miskin di sebuah daerah terpencil di Tangerang, Banten dan didedikasikan buat mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar