Laman

Senin, 29 November 2010

SIKAP
Semakin lama saya hidup, semakin saya sadar
Akan pengaruh sikap dalam kehidupan

Sikap lebih penting daripada ilmu,
daripada uang, daripada kesempatan,
daripada kegagalan, daripada keberhasilan,
daripada apapun yang mungkin dikatakan
atau dilakukan seseorang.

Sikap lebih penting
daripada penampilan, karunia, atau keahlian.
Hal yang paling menakjubkan adalah
Kita memiliki pilihan untuk menghasilkan
sikap yang kita miliki pada hari itu.

Kita tidak dapat mengubah masa lalu
Kita tidak dapat mengubah tingkah laku orang
Kita tidak dapat mengubah apa yang pasti terjadi

Satu hal yang dapat kita ubah
adalah satu hal yang dapat kita kontrol,
dan itu adalah sikap kita.

Saya semakin yakin bahwa hidup adalah
10 persen dari apa yang sebenarnya terjadi pada diri kita,
dan 90 persen adalah bagaimana sikap kita menghadapinya.

Akhirnya: Seluruh pilihan terletak di tangan Anda, tidak ada JIKA atau TETAPI. Andalah pengemudinya. Andalah yang menentukan JALAN HIDUP ANDA…!

Kamis, 25 November 2010


M A D U

                    
                     “Bapak, mohon pengertian ibu. Demi perjuangan, Bapak harus menikah lagi. Di Malaysia sini banyak rekan – rekan seperjuangan dan anak– anak binaan yang membutuhkan uluran tangan agar dapat bertahan hidup dan terus berjuang  Che Azizah, calon istri bapak ini memiliki semangat jihad yang tinggi. Dia banyak membantu kami disini …. “
                     Aku tidak sanggup melanjutkan bacaanku. Tanganku gemetar. Isi surat suamiku itu terasa meluluh  lantakkan persendianku. Aku tak kuasa berdiri. Hatiku terasa perih. Dalam dudukku, aku menangis. Aku betul-betul terluka. Betapa tidak, hampir tiga puluh tahun aku mendampinginya dalam suka dan duka. Tuhanpun telah mengaruniai kami sepuluh anak. Alhamdulillah, walaupun kami berdua hanya guru, kami mampu membesarkan dan mendidik mereka. Mereka tumbuh menjadi anak-anak yang baik. Tapi kini setelah kami sama-sama tua, dia akan mencampakkan diriku.
                     Kuremas surat itu sekuat tenaga sampai lumat. Dan kulempar kekotak sampah di pojok kamar. Perasaanku betul–betul terkoyak. Begitukah sifat laki-laki? Dia akan mencampakkan wanita setelah dianggap tidak berguna lagi. Aku sudah tua keriput. Dan dia ingin mendapatkan yang lebih muda. Astagfirullah! Sepanjang malam aku susah tidur. Aku banyak merenung. Mengingat kembali peristiwa–peristiwa hidupku hingga kami.
*****                                       
                     Sore itu aku dan Faisal putera bungsuku yang berumur tiga tahun sedang asyik nonton televisi. Anak–anakku yang lain sedang berada d ruang tengah mengerjakan tugas sekolah. Sekitar jam lima sore, kami kedatangan dua orang tamu. Keduanya bertubuh tegap dan kekar.
                     “Permisi, bu. Apa betul ini rumah Ustad Hasan ?“ tanya salah satu dari mereka.
                     “Betul. Silahkan masuk,“ jawabku lalu mempersilahkan mereka duduk di ruang tamu. Keduanya lalu masuk.
                     “Ada perlu apa dengan suami saya ? “ tanyaku setelah mereka duduk.
                     “Bapak Hasannya ada di rumah ? “ pria yang satunya tadi malah bertanya. Nampaknya dialah yang bertugas sebagai juru bicara, karena teman yang satunya lagi hanya diam.
                     “Bapak sedang keluar sebentar. Mungkin menjelang maghrib nanti pulang. Bapak–bapak boleh menunggu. Tapi kalau memang sedang terburu–buru dan sangat penting sekali, boleh tinggalkan pesan nanti akan saya sampaikan.“ Kujelaskan semua itu secara wajar. Mereka saling pandang. Nampaknya mereka masih kurang percaya. Aku jadi curiga.
                     Sambil menatap tajam padaku, orang itu menjelaskan: “Kami petugas dari Kodim, diperintahkan menjemput suami ibu. Dia telah menghasut Umat Islam untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Dia anti Pancasila dan ingin mendirikan Negara Islam.”
                     Aku tersentak. Apa yang aku khawatirkan selama ini terjadi juga. Salah seorang rekan suamiku yang bekerja sebagai staf di sebuah instansi militer mengatakan akan ada penangkapan besar-besaran terhadap aktivis Islam. Dan suamiku termasuk dalam daftar yang akan diciduk. Dia malah menyarankan agar suamiku menyingkir selama beberapa waktu sampai keadaan memungkinkan. Tapi suamiku tak menghiraukannya. Dia akan bertahan walau apapun yang akan terjadi.
                     “Maaf Bu, kami akan disini sampai suami ibu kembali. Saya minta ibu dapat memberikan kerjasama, “  petugas itu menandaskan.
                     Keduanya lalu bangkit. Yang satu langsung melakukan penggeladahan. Yang lainnya kembali ke dalam mobil. Tak lama kemudian dia keluar lagi di sertai lima petugas berseragam loreng dan besenjata lengkap. Aku terperangah.
                     Para tetanggaku mulai terusik. Sebagian dari mereka keluar rumah ingin mengetahui apa yang terjadi. Ada yang memandang prihatin dan simpatik pada kami. Tapi ada juga yang nampak sinis. Tapi aku tak memperdulikan itu, yang aku pedulikan saat itu hanyalah keselamatan suamiku. Bagaimanapun dia tidak boleh tertangkap. Aku banyak dengar betapa kejamnya petugas keamanan memperlakukan para da’i yang ditahan atas tuduhan subversif atau anti Pancasila seperti suamiku ini.
                     Adzan maghrib menggema. Aku semakin panik, karena sebentar lagi suamiku pulang. Karena itulah kebiasaanya. Ia selalu sholat maghrib berjamaah di rumah dengan kami, istri dan anak–anaknya, aku pasrah. Tapi aku tidak kehabisan akal. Dengan alasan untuk sholat maghrib berjamaah di mesjid, aku minta agar petugas mengijinkan anak–anakku keluar rumah. Mereka pun mengijinkan. Diluar sepengetahuan mereka aku malah menugaskan dua puteraku yang masih duduk di SMP, yaitu Rizal dan Fadhil untuk mencegat kepulangan ayah mereka. Mereka kuminta untuk menjaga di dua pintu masuk ke kawasan itu yang biasa dilaluinya kalau pulang ke rumah.
                     Satu jam kemudian Rizal dan Fadhi kembali, sambil berbisik mereka melaporkan bahwa mereka telah berhasil mencegat ayah mereka agar memutar arah kendaraannya ke daerah aman dan menyingkir untuk sementara waktu. Alhamdulillah, itu berarti untuk sementara waktu suamiku selamat dati sergapan petugas. Kemudian karena tidak berhasil menangkap suamiku, menjelang tengah malam mereka meninggalkan rumah kami. Taapi walaupun begitu aku yakin mereka masih berkeliaran disekitar rumah kami. Dan sejak hari itu mereka selalu mencegat dan mengintograsi setiap orang yang baru keluar dari rumah kami. Akibatnya keluarga kami menjadi terisolasi karena tidak ada orang yang berani berkunjung.
                     Karena aparat petugas masih memburu, akhirnya suamiku memutuskan untuk hijrah ke negeri jiran Malaysia melalui jalur laut, yaitu Pelabuhan Dumai di Riau. Dengan berbekal biaya hasil menjual kuda perangnya yaitu mobil sedan tua milik kami satu-satunya yang selalu meyertainya berdakwah, ia hijrah.
                     Nampaknya suamiku dianggap orang yang cukup berbahaya oleh pemerintah ketika itu. Buktinya aparat berusaha gigih menangkapnya dengan segala cara. Mereka berusaha mencari informasi tentang keberadaan suamiku dengan cara apapun. Mereka menekan kelurahan agar membantu mereka. Akibatnya kami sekeluarga mengalami kesulitan jika berhubungan dengan mereka untuk mengurus masalah keluarga yang terkait dengan instansi tersebut. Sehingga tak jarang aparat kelurahan bertindak diskriminatif pada kami. Bahkan menurut tukang pos yang kami kenal dan biasa mengantarkan surat untuk kami, pihak keamanan juga melakukan sensor atas surat-surat yang ditujukan ke alamat kami. Tapi untunglah sejak hijrah ke Malaysia, Suamiku tidak pernah berkirim surat via pos. Surat untuk kami biasanya dititipkan melalui beberapa kawannya yang biasa bepergian ke Malaysia atau dititipkan melalui beberapa mahasiswa Indonesia yang kuliah disana yang kebetulan mengenal kami.
                     Yang paling terpukul ketia itu adalah puteri sulungku Annisa, dia mengalami kesulitan ketika mengurus pernikahannya di kantor urusan agama karena persoalan wali. Ini dimanfaatkan oleh petugas keamanan melalui pegawai kantor urusan agama itu agar Annisa mendatangkan ayahnya sebagai wali.
                     Betapa berat ujian yang harus kami hadapi. Tapi kami tetap istiqomah. Bagiku ini adalah resiko bagi seorang istri pejuang Islam. Oleh karena itu aku betul–betul terpukul ketika membaca surat suamiku. Kenapa harus menikah lagi? Apakah tanpa menikah lagi mereka mati kelaparan? Lalu dia anggap apa aku ini? Apa arti pengorbanan kami selama ini?
******
                     Mei 1998.
                     Indonesia rusuh. Agin reformasi bertiup kencang meruntuhkan pemerintahan orde baru yang tiran. Negeri ini memasuki era baru. Era reformasi. Puluhan bahkan ratusan aktifis Islam selama ini lari ke luar negeri  kini berbondong–bondong pulang kampung. Mereka kembali menyemarakan dakwah Islam yang telah lama dimandulkan oleh rejim tiran orde baru.
                     Dan untuk pertama kalinya aku menerima surat via pos dari suamiku. “Bu…. Tidak lama lagi Bapak akan pulang. Che Azizah akan ikut juga. Dia ada urusan bisnis di Jakarta,“  tulisnya.
                     Baru kali aku merasa terusik membaca suratnya. Sejak dia memutuskan untuk menikah lagi, aku tidak pernah memperdulikan surat-suratnya. Mungkin karena dia mengajak serta Che Azizah, istri mudanya, maduku, sainganku,….Masa bodoh, pikirku. Untuk apa aku peduli.
                     Terdengar suara riuh di ruang tamu.
                     “Bu …. !  Bapak pulang! “ Kudengar suara anak-anakku. Terdengar mereka lari menghambur keruang tamu. Jantungku berdetak keras. Kuraih anak kunci. Tapi kemudian kuurungkan niatku untuk membuka pintu kamar karena kudengar suara wanita lain yang tak kukenal disela-sela riuhnya teriakan anak-anakku.
                     Suara itu sangat asing ditelingaku. Logat bicaranya aneh. Melayu kental. Logat itu selama ini hanya kudengar dalam film Melayu Jiran. Tidak salah. Itu pasti wanita yang disebut oleh suamiku dalam suratnya. Batinku bimbang. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya bisa duduk di tempat tidur.
                     Terdengar langkah berat menuju pintu ke kamarku, lalu diikuti suara ketukan beberapa kali.
                     “Bu…, buka pintunya,“ terdengar suara berat tapi lembut. Itu suara suamiku. Suara yang selalu kupatuhi selama tiga puluh tahun. Tapi kali aku tidak bergeming. Menyahutpun tidak. Walaupun sebenarnya aku telah merindukannya.
                     Kemudian terdengar desah napas berat. Desah kekecewaan orang lama menunggu. Aku tahu, sikapku ini tentu mengecewakannya. Tapi aku juga ingin menunjukkan bahwa kau juga sangat kecewa dengan keputusannya.
                     Tidak lama kemudian terdengar langkah lain mendekati pintu. “Bu…. Bapak pulang, Bu, Tolong buka pintunya. Ibu bilang kangen sama Bapak.“
                     Ya Tuhan, Itu suara Faizal. Aku semakin gugup. Apa jadinya anak-anakku, terutama Faizl kalau mengetahui dan melihat semua ini. Setelah menenangkan diri sejenak, perlahan kubuka pintu kamar. Aku tertegun mematung tanpa ekspresi. Dihadapanku telah berdiri tiga orang. Suamiku, Faizal, dan seorang wanita tua yang tidak kukenal.
                     “Bu……, ini Che Azizah. “kata suamiku dengan suara parau memecah kekakuan.
                     Mataku tertegun pada wanita tua itu. Dari raut wajahnya dapat kuduga usianya lebih tua dariku. Aku terperangah. Ia tersenyum. Subhanallah, Wajahnya begitu agung dimataku. Walaupun agak mengeriput termakan usia, tapi masih nampak kecantikannya.
                     Tak terasa aku telah memeluknya. Aku menangis. Perasaan malu dan menyesal berbaur jadi satu.    

TAMAT



Selasa, 23 November 2010


SEBUAH FRAGMEN
           
            “Awas kalian yah! Kalau ketahuan mencuri lagi, kupotong  tangan kalian,” teriak Pak Bakhil sambil mengacungkan goloknya kearah anak-anak yang lari bertempiaran. Nampak mereka ketakutan melihat kemarahan Pak Bakhil.
            “Ada apa Pak?” Tanya Pak Ustadz Hasan. Beliau tiba-tiba saja sudah berada di belakang Pak Bakhil.
            “Itu lho Pak Ustadz, anak-anak  itu hampir tiap hari mencuri singkong saya. Keterlaluan,” jawab Pak Bakhil.
            “Yah namanya juga anak-anak pak. Maklumi saja.”
            “Justru itu Pak Ustadz, kalau masih kecil saja sudah berani mencuri, apalagi kalau sudah besar, bisa jadi perampok mereka,” bantah Pak Bakhil sengit.
            “Tapi jangan terlalu kasar seperti itu Pak Bakhil. Apalagi sampai mengacungkan golok segala. Kita nasihati saja secara baik-baik. Nanti kalau terjadi sesuatu pada mereka gimana? Kan kita juga yang repot.”
            “Biarkan saja. Biar mereka tahu rasa,” sahut Pak Bakhil dengan nada tinggi.
            Pak Ustadz nampak mengerutkan dahinya.
            “Nggak baik begitu Pak,” ujar Pak Ustadz kemudian. “Barangkali mereka memang betul-betul lapar. Dikampung kita ini ‘kan memang banyak keluarga miskin. Apalagi jaman susah seperti sekarang ini. Harga barang melambung tinggi. Sementara orang tua mereka menganggur. Jadi mereka memang benar-benar kurang makan di rumah.”
            “Alaahh…Sudahlah Pak Ustadz. Tidak usah menceramahi saya. Ceramahi saja mereka supaya tidak mencuri lagi. Jangan-jangan mereka memang disuruh mencuri oleh orang tuanya.”
            “Astaghfirullah,” ucap Pak Ustadz terperanjat.
            Tanpa mempedulikan Pak Ustadz, Pak Bakhil langsung menyarungkan kembali goloknya dan beranjak meninggalkan tempat itu. Sementara Pak Ustadz hanya bisa menggelengkan kepalanya.
            “Ya Allah, bukakanlah pintu hati Pak Bakhil, supaya dia menjadi orang yang peduli terhadap orang lain.”
            Pak Bakhil adalah orang berada di kampung. Tapi sayang dia termasuk orang yang paling kikir. Kebun dan sawahnya luas. Ada yang diolahnya sendiri. ada juga yang diolah oleh orang lain. Petani yang mengolah lahan milik Pak Bakhil sering mengeluh karena mereka sering diperlakukan tidak adil. Pak Bakhil sering sewenang-wenang dalam menentukan pembagian hasil panen lahan garapan mereka.
*****
            Siang yang terik. Nampak Pak Karna duduk termenung di kursi bambu reot didepan gubuknya. Pikirannya menerawang jauh, membayangkan kehidupannya yang semakin suram. Betapa tidak, sudah tiga hari keluarganya tidak makan nasi. Mereka hanya makan singkong rebus. Itupun pemberian tetangganya. Dia yang sehari-hari bekerja sebagai kuli angkut batu di galian di kampungnya itu betul-betul bingung. Sudah seminggu lebih dia pulang kerja dengan tangan hampa karena tidak ada truk yang masuk galian. Sejak krisis, memang jarang sekali ada truk yang masuk untuk mengangkut batu.
            Tiba-tiba muncul Udin, anaknya yang nomor dua.
            “Lapar, pak….,’ rengek Udin sambil bergelayut dikaki bapaknya.
            Pak Karna tidak langsung menyahut. Dia menarik napas berat. Diangkatnya tubuh Udin yang kurus itu dan didudukkan di pangkuannya. Anak berusia sembilan tahun itu nampak diam saja.
            “Sabar yah Din. Nanti setelah sholat Dzuhur bapak akan kembali ke galian lagi. Mudah-mudahan sore ini ada truk yang masuk. Pulangnya bapak beli beras,” bujuk Pak Karna dengan suara parau. Dia nampak tak tega melihat anaknya yang sudah kelaparan itu.
            “Tapi Udin nggak tahan nih nih Pak. Dari pagi belum makan apa-apa,” kata Udin sambil mengelus perutnya yang kempes itu.
            Lalu muncul istri Pak Karna dari dalam gubuk. Nampak Mamat, kakanya  Udin mengikuti ibunya dari belakang. Keduanya lalu duduk di balai bambu dihadapan Pak Karna. Sesaat Bu Karna  menatap Udin.
            “Din, kamu main dulu yah sama Bang Mamat. Biar bapak istirakat dulu,” ujar Bu Karna.
            Udin nampak terdiam. Pak Karna juga membisu.
            “Mat, ajak adikmu main yah,” kata Bu Karna kemudian kepada kakaknya Udin yang berusia sebelas tahun itu.
Mamat nampak mengangguk. Dia langsung mendekati Udin dan menuntunnya menjauhi rumah. Udin nampak menurut saja. Diikutinya langkah mamat sambil tetap membisu. Sampailah keduanya dibawah pohon mangga yang rindang. Pohon mangga itu terletak tidak jauh dari rumah Pak Bakhil.
“Kita main petak umpet yuk?” ajak Mamat pada adiknya.
Udin mengangguk kurang semangat.
“Kita suitan dulu. Yang kalah jaga,” ujar Mamat.
Udin mengangguk. Mereka suitan. Mamat kalah.
“Bang Mamat kalah. Sekarang kamu yang ngumpet. Bang Mamat yang jaga,” ujar Mamat menyemangati Udin.
Mamat lalu membalikkan badanya menghadap batang pohon mangga dan menutup matanya dengan telapak tangan. Iapun  mulai menghitung.
“Satu, dua, tiga…..sepuluh.”
Mamatpun mulai mencari tempat persembunyian Udin. Dijelajahinya semak-semak disekitar tempat itu. Tapi Udin tidak ditemukan. mamat mulai was-was.
“Din…Udin….!
Tidak terdengar jawaban.
“Din…Udin! Keluar Din. Bang Mamat nyerah dah…,” pujuk Mamat.
Tapi tetap tidak terdengar sahutan. Mamat semakin was-was. Dia kemudian berlari-lari kecil mengitari rumah Pak Bakhil yang sepi itu. Tapi Udin tetap tidak nampak. Ketika dia melewati pintu samping rumah Pak Bakhgil, Mamat agak curiga melihat pintu samping rumah Pak Bakhil agak sedikit terbuka. Padahal dia sendiri tahu kalau rumah itu sedang kosong. Seluruh penghuninya sedang keluar rumah. Pak Bakhil sendiri biasanya masih di kebun memeriksa tanaman-tanamannya.
“Udin….Din…!”
Tidak ada jawaban. Mamat celingukan sesaat. Sepi. Tiba-tiba terdengar suara piring beradu dari dalam rumah. Dia curiga.
“Udin!”
Masih tidak ada jawaban. Akhirnya Dengan agak ragu, Mamat mendekati pintu yang sedikit terbuka. Pelan-pelan dia membuka pintu itu agak lebar. Setelah pintu terbukal, sontak Mamat terkejut. Nampak Udin berada didalam rumahl itu. Dia sedang berdiri menghadap meja makan. Dengan tergesa-gesa nampak Udin menyendok nasi dan menaruhnya di bungkusan terbuat dari daun pisang. Kemudian diambilnya juga sedikit lauk pauk. Mamat nampak terkesiap.
“Jangan Din,” cegah mamat.
Tapi Udin tidak mengindahkan kata-kata Mamat. Dia lalu mengambil bungkusan nasi dan lauk-pauk itu dan mulai menyantapnya dengan lahap. Tangannya nampak gemetar. Mungkin dia sudah merasa sangat lapar.
“Udin! Ayo pulang!” bentak Mamat.
Mamat langsung mendekati Udin dan menarik tangan Udin agar menjauhi meja makan. Udin nampak masih tetap melahap nasi yang ada di bungkusan daun pisang itu. Mamat menyeret Udin menuju pintu keluar. Tapi alangkah terkejutnmya mereka, karena Pak Bakhil sudah berdiri bertolak pingggang menghadang langkah mereka di pintu. Wajahnya nampak angker. Apalagi nampak pula sebilah golok dengan sarungnya terselip di pinggangnya. Semakin menambah kegarangannya.
“Oohh…ini rupanya kucing yang sering mencuri makanan di rumah ini. Pantas saja makanan di rumah ini sering hilang. Rupanya kalian malingnya,” ujar Pak Bakhil menahan amarah.
Mamat dan Udin nampak tidak terkutik. Udin spontan berhenti mengunyah. Mulutnya sendiri masih dipenuhi nasi yang baru saja disuapnnya. Dengan kasarnya Pak Bakhil merampas bungkusan nasi dari tangan Udin dan melemparkannya ke halaman samping. Beberapa ekor ayam lalu mengerubungi nasi  yang berantakan itu dan mematuknya dengan riuh. Sementara Udin hanya menatap dengan mata memelas
Kemudian…plak…plak…plak, beberapa tempelengan menghantam wajah Mamat dan Udin secara bergantian. Keduanya lalu menjerit kesakitan.
“Ampun, pak…ampun…,” kata Udin memelas sambil memegang pipinya yang memerah karena tempelengan pak Bakhil.
“Iya pak..ampun…. sakit pak…,” kata Mamat sambil meringis menahan sakit.
Tapi nampak Pak Bakhil tidak mempedulikan rintihan kedua anak itu. Beberapa pukulan masih dihantamkan ke wajah dan kepala kedua bocah malang itu. Pak Bakhil lalu mencengkeram telinga Udin dengan tangan kanannya dan telinga Mamat dengan tangan kirinya dan menyeret kedua anak itu ke halaman samping. Keduanya nampak menangis menahan sakit.
“Ampun Pak…. Sakit…..,” Udin menghiba.
“Kurang ajar kalian yah. Masih kecil sudah belajar jadi maling.” maki Pak Bakhil sambil terus menyeret mereka ke belakang rumah. “Aku akan membawa kalian ke kantor kepala desa.”
Tanpa diduga Udin menyambar lengan  Pak Bakhil dan menggigitnya dengan sekuat tenaga.
“Auw!” jerit Pak Bakhil. Cengkeramannya terlepas. Nampak darah menetes di lengannya. Nampaknya luka gigitannya cukup dalam.  Mamat dan Udin tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Keduanya lalu berlari menjauhi rumah Pak Bakhil. Pak Bakhil terus memburu mereka sambil mengacungkan goloknya.
“Awas kalin yah. Kalau tertangkap kupotong tangan kalian.” teriaknya sambil terus berlari mengejar kedua bocah itu.
Karena Pak Bakhil masih terus mengejar, akhirnya Mamat dan Udin masuk semak belukar. Keduanya tidak menghiraukan duri dan ranting menggores kulit mereka. Sementara Pak Bakhil masih terus memburu sam bil menebaskan goloknya ke ranting dan semak yang menghalangi langkahnya. Mamat dan Udin semakin panik.
“Tunggu…. Bang Mamat!” teriak Udin yang mulai kelelahan. Dia nampak tertinggal di belakang.
“Cepetan Din!” teriak Mamat.
Keduanya nampak semakin panik karena Pak Bakhil hampir dapat mengejar mereka. Dia hanya beberapa langkah di belakang Udin. Tak henti-hentinya dia menebas-nebaskan goloknya kearah semak-semak yang menghalanginya sambil terus mengeluarkan kata-kata ancaman kepada kedua anak itu.
“Auw!” tiba-tiba terdengar jeritan Udin.
Udin jatuh tertelungkup. Mamat langsung menghentikan larinya dan menoleh ke belakang.
“Cepat bangun Din!” teriak Mamat.
Udin tidak mampu menjawab. Dia hanya mengerang. Mamat berbalik dan mendekati Udin yang mengaduh kesakitan sambil memegang perutnya.
“Kena kalian sekarang yah. Mau lari kemana kalian?” kata Pak Blkhil senang.
Mamat nampak khawatir melihat kondisi Udin. Tanpa menghiraukan kehadiran Pak Bakhil, Mamat lalu membalikkan tubuh Udin. Kini Udin terlentang.
“Udin!” jerit Mamat.
Dia sangat terkejut melihat dada Udin yang berlumuran darah. Sebatang ranting nampak menancap  tepat di dadanya. Pak  Bakhil juga  terkejut melihat pemandangan yang mengerikan itu. Dia nampak kebingungan.
*****
Kampung geger. Nyawa Udin tidak tertolong. Dia meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Penduduk melampiaskan kemarahannya pada Pak Bakhil. Mereka beramai-ramai mendatangi rumah Pak Bakhil. Mereka mengobrak abrik rumah Pak Bakhil. Bahkan beberapa orang yang tidak bertanggung jawab menjarah isi rumah itu. Keluarga Pak Bakhil sudah diungsikan ke balai desa. Sementara Pak Bakhil sendiri sudah diamankan pihak kepolisian. Aparat desa dan juga kepolisian tidak mampu membendung kemarahan penduduk yang memang sudah sangat membenci Pak Bakhil karena kekikirannya.
Tidak hanya sampai disitu. Penduduk yang sudah dilanda kemarahan itu kemudian menghancurkan sawah dan kebuh milik Pak Bakhil. Mereka juga kemudian menjarah semua tanaman yang sudah siap panen. Habis sudah hasil kebun dan sawah Pak Bakhil. Tidak ada yang tersisa.
*****
            “Sekarang saya sadar Pak Ustadz,” kata Pak Bakhil ketika Pak Ustadz Hasan menjenguknya di ruang tahanan polisi.
            “Syukur alhamdulillah. Allah telah membuka pintu hati Bapak,” kata Ustadz Hasan.
            Pak Bakhil memang berubah. Sebagai bukti rasa tanggung jawabnya atas kematian Udin, Pak Bakhil memberikan sebidang tanah yang cukup luas kepada Pak Karna agar Pak Karna  dapat mengolah lahan itu sehingga dia dapat memenuhi kebutuhannya.
            “Setelah keluar dari penjara nanti, saya akan menunaikan ibadah haji,” ujar Pah Bakhil kemudian.
            Ustadz Hasan tersenyum lega.
Serpong, 15 September 1998

TAMAT
Cerpen ini ditulis berdasarkan kisah nyata yang menimpa sebuah keluarga miskin di sebuah daerah terpencil di Tangerang, Banten dan didedikasikan buat mereka.